Untuk cerita pertama, saya hanya membuat sebuah fanfic. Ini fanfic Inazuma Eleven. Tadinya sih... Mau di post di FFn, tapi kampr*tnya itu FFn kena internet positif. Ya... Jadi saya gak bisa post.
Ok! Daripada saya terus ngebacot gak jelas, langsung aja cekidot!
Usagi Yumi Present
Jika Ibu
Meninggalkanmu?
Disclaimer
Inazuma Eleven GO and
Inazuma Eleven GO Chrono Stone bukan milik saya
Warning
Typo(s), GaJe, OOC,
Alur kecepetan, gagal Jadi, kurang menyentuh hati, namun saya berharap anda
sekalian bisa memetik makna dari cerita ini
SELAMAT MEMBACA!
“Tenma benci sama Kaa-chan!”
“TENMA!”
Seorang bocah berambut coklat berlari keluar dari rumah. Ia
tidak memperdulikan teriakan Ibunya yang memanggil agar segera kembali. Yang
ada dipikiran bocah bernama lengkap Matsukaze Tenma itu sekarang hanyalah pergi
menjauh dari Ibunya.
Entah bocah itu tahu atau tidak, tindakan yang dilakukannya
saat ini sungguhlah nekat. Hari sudah malam dan untuk bocah berumur 7
tahun sungguhlah rawan berada di luar
rumah. Namun, seakan tidak peduli dengan waktu, suasana, dan keadaan, bocah itu
tetap berlari diantara hiruk pikuk keramaian menuju tempat favoritnya.
Lapangan sepak bola di pinggir sungai.
Ya, memang hanya sebuah lapangan. Sebuah lapangan yang hanya
terdiri dari hamparan rumput hijau yang luas dan di kedua ujung lapangan
terdapat sebuah gawang. Tidak ada yang harus difavoritkan dari tempat ini.
Entah kenapa, Tenma bisa menjadikan tempat ini masuk ke dalam daftar ‘Tempat
Favorit’.
Tenma berjalan ke tengah lapangan, lalu berbaring. Ia tatap
ribuan bintang di langit sembari memikirkan kejadian tadi. Kejadian dimana ia
dan Ibunya bertengkar. Memang hanya hal sepele, tetapi entah mengapa
dibesar-besarkan.
Ibunya Tenma hanya meminta dirinya untuk izin tidak berlatih
sepakbola besok. Mereka berdua akan pergi ke Okinawa, kampung halaman Tenma
untuk sekedar berkunjung menemui Ayahnya serta kerabat yang lain.
Ya... Yang namanya Tenma kalau diminta izin atau dilarang
untuk tidak bermain sepak bola, ia pasti akan marah ataupun kesal. Tenma begitu
mencintai sepakbola dan Ibunya pun tahu. Oleh karena itu, Ibunya meminta dengan
baik-baik agar anaknya tersebut tidak berlatih besok. Namun, Tenma salah
tanggap dan menganggap apa yang dikatakan Ibunya merupakan larangan. Otomatis,
Tenma marah lalu akhirnya kabur dari rumah.
“Huh! Kaa-chan ‘kan harusnya tahu kalau Tenma paling tidak bisa
meninggalkan latihan sepakbola begitu saja!” Gerutu Tenma dengan wajah kesalnya
yang imut. Ia menggembungkan kedua pipinya hingga terdapat rona merah.
Tiba-tiba, Tenma berdiri. Ia hirup napasnya dalam-dalam
sampai dadanya membusung. Ia pejamkan matanya, lalu berteriak dengan sangat
kencang.
“HUAAAAAAAAAA!!! AKU BENCI KAA-CHAN!!! BENCI! BENCI! BENCI!!!”
Tenma berteriak, mengerahkan seluruh tenaga yang telah ia kumpulkan. Ia tak
peduli jika ada yang mendengar dan mengatainya gila, karena hari sudah malam
dan tak mungkin ada orang dewasa yang mau kesini. Bilapun ada yang sekedar
lewat, pasti mereka akan mengacuhkan teriakkan Tenma.
Tenma menjatuhkan dirinya dalam posisi terlentang. Napasnya
tidak teratur karena hampir seluruh tenaganya ia kerahkan hanya untuk
berteriak.
“Hah... Hah... Kalau begitu, aku tak akan pernah pulang ke
rumah,”
“Kau tak boleh berkata seperti itu,”
“Eh?” Tenma membuka mata, lalu terbelalak kaget karena ada
sebuah wajah yang berjarak dekat dengan wajahnya.
“GYAAAAAAAAAAAA!!!” Dengan terburu-buru, Tenma berdiri. Ia
mundur beberapa langkah dengan perasaan panik.
“Maaf, aku mengagetkanmu, ya?” Tanya seorang pemuda yang
membuat Tenma kaget. Menurut prediksi Tenma, pemuda ini kira-kira masih kelas 1
SMP.
“Siapa kau!?” Bukannya menjawab, Tenma malah bertanya balik.
Sorot matanya menunjukkan kewaspadaan kepada pemuda yang berada di hadapannya.
“Wow wow... Santai... Tak perlu waspada begitu... Aku bukan penculik.”
Ucap pemuda tersebut sembari menahan tawa.
“Hei! Apa yang lucu!?” Seru Tenma kesal. Ia menggembungkan
kedua pipinya, berharap bahwa ekspresi ini menunjukkan bahwa ia sedang kesal.
“Maaf maaf... Namaku Fei Lune, kau?” Pemuda bernama Fei pun
bertanya. Tenma yang sudah yakin bahwa Fei tidak berbahaya akhirnya berjalan
mendekatinya.
“Aku... Tenma... Matsukaze Tenma.” Jawab Tenma malu-malu.
“Nah... Tenma, kenapa kau membenci Ibumu?” Tanya Fei sembari
duduk di hamparan rumput. Tenma pun mengikutinya dan mengambil posisi duduk di
sebelah kiri Fei.
“Habisnya... Kaa-chan melarang Tenma untuk berlatih sepakbola
besok,” jawab Tenma sembari teringat kembali kejadian pertengkaran diantara dia
dan Ibunya. Ia pun kembali menggembungkan kedua pipinya karena merasa kesal.
“Memang apa alasannya Ibu Tenma melarangmu berlatih sepakbola?
Pasti ada alasannya, ‘kan?” Fei kembali bertanya.
“Besok Tenma dan Kaa-chan akan pergi ke Okinawa untuk
mengunjungi Tou-chan, tapi kereta yang ada untuk ke sana hanya ada pada jam
12.30 dan itu adalah jadwal Tenma untuk berlatih sepak bola,” jawab Tenma
sembari mengubah posisi duduknya menjadi meringkuk.
“Tenma ikut klub sepakbola di sekolah, ya?” Mendengar
pertanyaan tersebut, tiba-tiba Tenma terdiam. Ia tenggelamkan kepalanya ke
dalam kedua kakinya.
“Eh? Ada yang salah?” Fei bertanya karena khawatir bila ada
yang salah dalam ucapannya.
“S-sebenarnya...” Tenma menggantungkan ucapannya. Ia
mengangkat wajahnya perlahan-lahan, lalu terdiam. Fei menunggu kelanjutan
ucapan Tenma dengan sabar.
“Hah...” Tenma menghela napas berat. Ia melirik ke arah Fei
yang tengah menunggu kelanjutan ucapannya, lalu kembali menghela napas.
“Sebenarnya... Tenma tidak ikut klub sepakbola. Tenma
berlatih sendirian.” Ucap Tenma sembari menundukkan wajahnya. Fei terdiam mendengar
ucapan Tenma, namun detik berikutnya ia malah tersenyum hangat lalu mengelus
lembut surai cokelat milik Tenma.
“Apa Ibu Tenma tahu kalau kamu suka berlatih sendirian?”
Tenma langsung menjawab dengan anggukan kecil.
“Kalau begitu, harusnya Tenma bisa berlatih juga di Okinawa,
‘kan?” Ucap Fei. Tenma lalu menoleh ke arah Fei dan menatap tepat pada kedua matanya.
“T-tapi... kalau di Okinawa... Tenma akan kesusahan
menggiring bola... Rumah Tenma disana ‘kan ada di pinggir pantai...” Ujar Tenma
dengan pandangan sendu.
“Justru karena berada di pantai maka Tenma bisa meningkatkan
kekuatan berlari. Menggiring bola di pantai atau di lapangan bersalju pasti
akan membuat kita kesulitan. Namun, jika kita sering berlari di antara dua
daerah tersebut, kecepatan lari kita akan meningkat ketika berada di tanah
biasa,” Fei menjelaskan, membuat Tenma memandangnya dengan pandangan berbinar
kagum.
“Keren... Fei-san juga suka sepakbola?” Tenma bertanya, masih
disertai pandangan berbinar-binar.
“Ya, aku juga suka sepakbola,” Fei menjawab sembari tersenyum
kecil. Elusannya pada rambut Tenma sekarang berpindah ke punggungnya.
“Kalau begitu, sekarang Tenma pulang dan minta maaf ke Ibu
Tenma, ya?” Pinta Fei dengan nada lembut. Namun, Tenma malah diam membatu,
cukup membuat Fei heran.
“Kenapa, Tenma? Kamu takut?” Fei bertanya dan langsung
disambut anggukan takut dari Tenma. Fei menghela napas panjang melihat jawaban
Tenma.
“Tenma... kalau kamu takut untuk minta maaf, kapan lagi kamu
mau minta maaf?” Fei kembali bertanya.
“Saat Tenma sudah punya keberanian untuk minta maaf,” jawab
Tenma asal. Fei kembali menghela napas panjang.
“Jangan asal jawab kayak gitu, Tenma... Coba kamu bayangin,
kalau misalnya Ibumu meninggalkanmu bagaimana?” Fei berkata dengan tatapan yang
tidak disadari Tenma, berubah menjadi sendu.
“Maksud Fei-san apa?” Tenma bertanya dengan tatapan bingung.
Ia sungguh tidak mengerti apa yang baru saja dikatakan Fei.
“Coba Tenma tutup mata. Jangan buka sebelum aku perintahkan
untuk membuka mata,” pinta Fei dengan senyum terpaksa. Tenma tidak menyadari
senyuman itu. Masih dilarut rasa bingung, Tenma menuruti apa yang diminta Fei.
“Kalau Tenma tidak mengerti, akan aku jelaskan dengan bahasa
yang bisa dimengerti oleh Tenma. Coba Tenma bayangkan kalau Ibu Tenma sedang
mencari-cari Tenma...” Tenma tahu, Fei belum selesai berbicara. Namun, dengan
serius Tenma membayangkan apa yang barusan Fei katakan.
“... lalu, ketika Ibu Tenma menyebrang jalan, ia tertabrak
truk yang sedang melaju dengan kecepatan tinggi,” lanjut Fei. Saat membayangkannya,
seketika Tenma membatu ditempat. Tubuhnya tiba-tiba bergetar, terlalu takut
jika hal tersebut benar-benar menimpa Ibunya.
“Tenma tidak tahu akan hal itu. Tenma masih berada di sini
karena takut untuk minta maaf. Beberapa jam kemudian, Tenma sudah siap untuk minta
maaf dan pulang ke rumah. Namun, saat sampai, Tenma melihat banyak orang yang
berkerumun di rumah,” Tenma kembali membayangkan apa yang dikatakan Fei.
Perlahan, setitik air mata mulai mengalir dari kedua mata Tenma yang terpejam.
Tenma mulai terisak kecil. Kini ia mengerti apa maksud dari kata-kata yang
diucapkan Fei. Ia sudah mengerti dan sekarang, ia sudah dapat menebak apa yang
akan diucapkan Fei selanjutnya.
“Tenma bertanya ‘ada apa?’ pada salah satu tetangga yang ada
dalam kerumunan. Tetangga yang ditanya oleh Tenma terdiam, lalu tiba-tiba
memeluk Tenma dengan erat. Ia berkata ‘maaf, Tenma... Maaf! Maaf! Maaf!
Ibumu...’ dan tanpa dilanjutkan pun, Tenma sudah mengerti apa yang terjadi
dengan Ibu Tenma,” Tenma terisak semakin keras. Ia benar-benar tidak mau jika
hal itu menjadi kenyataan. Tenma baru menyadari bahwa ia sangat sayang dan
cinta kepada Ibunya, melebihi rasa cintanya kepada sepakbola. Sungguh, Tenma
merasa bodoh bertengkar dengan Ibunya hanya karena masalah sepele seperti ini.
“Tenma menangis dengan keras, menyesal karena belum sempat meminta
maaf kepada Ibu Tenma. Tenma menerobos kerumunan orang-orang, lalu berlari ke
arah Ibu Tenma yang sudah terbaring di tengah rumah dengan kulit dan bibir yang
pucat. Tenma mengguncang-guncangkan tubuh Ibu Tenma, memintanya untuk bangun.
Namun, tidak ada respon dan Ibu Tenma tetap tertidur. Tenma lalu mencoba
menepuk-nepuk pipi Ibu Tenma, tetapi tetap tidak ada respon. Tenma mencoba
memberi napas buatan, namun Ibu Tenma tetap tertidur untuk se-”
“TIDAK! TIDAK! TIDAK! Hiks... Hiks... T-tenma... Hiks...
tidak mau! Hiks... Tenma... Hiks... t-tidak mau kehilangan Kaa-chan! Hiks...
Hentikan, Fei-san! Hiks... Tenma... Hiks... t-tidak sanggup lagi!” Tenma
langsung memotong ucapan Fei. Ia tidak kuat lagi membayangkannya.
“Kalau begitu, Tenma boleh buka mata,” ucap Fei. Ketika Tenma
membuka mata dengan perlahan, hal yang pertama dilihatnya adalah senyuman
hangat dari Fei. Fei langsung merengkuh tubuh Tenma dengan erat, lalu mengelus
kepalanya.
“Sssttt... Sudah... Tenma jangan nangis lagi, ya?” Fei mencoba
menenangkan Tenma. Ia melepas rengkuhannya dari tubuh Tenma, lalu ia usap air
mata yang mengalir dari kedua mata Tenma dengan ibu jarinya.
‘Dingin,’ Itulah pendapat Tenma ketika tangan Fei menyentuh kedua
pipinya. Ia baru menyadari bahwa kulit Fei begitu pucat.
“Nah... Sekarang Tenma mau minta maaf sama Ibu Tenma?” Fei
bertanya sembari tersenyum. Tenma yang sudah berhenti menangis langsung
mengangguk mantap sebagai jawaban.
“TENMA!!! TENMA!!! KAU DIMANA?”
“Eh? Kaa-chan!?” Tenma berseru kaget. Ia berbalik ke belakang
dan mendapati bahwa Ibunya sebentar lagi akan sampai ke tempat favoritnya.
“Kalau begitu, segera hampiri Ibumu dan minta maaf. Jangan
lupa peluk dan cium kedua pipinya,” Fei berkata sembari menepuk pelan kepala
Tenma. Tenma tersenyum lebar dan segera berlari menghampiri Ibunya. Namun,
sebelum berlari, ia menyempatkan diri untuk bertanya sesuatu.
“Ano... Fei-san... Kalau boleh tahu, Fei-san tinggal dimana?”
Tenma bertanya. Mendengar pertanyaan tersebut, tiba-tiba Fei tersenyum
misterius.
“Coba kau lihat di koran edisi 1 bulan yang lalu. Disana
tertera alamat rumahku dan aku sudah cukup terkenal,” Jawab Fei. Tenma hanya
menggangguk patuh dan tak bertanya apa maksud dari perkataan Fei.
“Kalau begitu, Tenma pergi dulu ya! Kapan-kapan, Tenma akan
main ke rumah Fei-san!” Pamit Tenma, lalu ia berlari pergi.
“KAA-CHAN!!!” Tenma berteriak memanggil Ibunya. Ibu Tenma
yang merasa dipanggil, reflek menoleh ke arah Tenma.
Tenma langsung memeluk Ibunya. Ibunya sempat terdiam sesaat,
sebelum ia berjongkok lalu membalas pelukan Tenma. Tenma segera mencium kedua
pipi Ibunya. Ibu Tenma kembali terdiam, kaget dengan perlakuan Tenma. Setitik
air mata haru terdapat pada kedua matanya. Ia sangat khawatir bila anak semata
wayangnya kenapa-napa.
“Kaa-chan... Tenma minta maaf... Tenma salah karena telah
membentak Kaa-chan...” Tenma berkata dengan nada sendu. Ia bersyukur karena ia
masih bisa meminta maaf dan Ibunya baik-baik saja.
“Tak apa, Tenma... Kau tidak minta maaf pun, Kaa-chan akan
tetap memaafkanmu. Sekarang kita pulang, ya? Ini sudah hampir jam 10 malam,” Ajak
Ibu Tenma. Tenma mengangguk, lalu menggandeng tangan Ibunya. Mereka pulang
dengan perasaan lega di hati.
Ketika sampai di rumah, Tenma langsung mengobrak-abrik tempat
koran yang berada di bawah meja. Ibunya yang melihat perilaku Tenma, kebingungan
dan langsung bertanya kepada Tenma.
“Kamu cari apa, Tenma? Mau Kaa-chan bantu?” Ibu Tenma
bertanya sekaligus menawarkan bantuan.
“Etto... Kaa-chan... Koran edisi bulan lalu ada dimana?”
Tenma bertanya balik. Ibunya dengan sigap langsung mencari koran edisi bulan
lalu.
“Hmmm... Ah! Ini dia!” Ibu Tenma lalu memberikan koran
tersebut kepada Tenma.
“Terima kasih, Kaa-chan!” Ucap Tenma dengan senang. Ia
langsung berlari ke kamarnya sembari membawa koran tersebut.
Dengan semangat, ia langsung membuka lembaran demi lembaran
koran tersebut dan memperhatikan artikel-artikel yang tertera dengan seksama.
Ketika ia membuka lembaran ketujuh, ia menemukan foto Fei dan foto seorang
wanita berambut coklat.
“Aku menemukannya!” Seru Tenma senang. Ia lalu membaca
artikel tersebut dengan serius, lalu tiba-tiba wajahnya berubah menjadi pucat
namun sendu.
“Fei-san... Jadi kisahmu yang tadi...” Tenma ingin sekali
menangis. Ia tak menyangka bahwa kisah yang diceritakan Fei dan dibayangkannya ternyata
adalah kisah yang menimpa Ibu Fei sendiri. Kini ia tahu mengapa Fei
menasihatinya dan memintanya untuk meminta maaf kepada Ibunya karena agar Tenma
tidak merasakan penyesalan yang ia rasakan.
“Ukh... Fei-san...” Kedua mata Tenma mulai berkaca-kaca. Ia
mencoba untuk menahan tangis. Namun, Tenma tidak dapat menahannya sehingga
bendungan air mata tersebut mulai pecah dan mengalir melalui pipi Tenma. Ia
menangis dalam diam. Ia tidak mau Ibunya tahu kalau ia menangis hanya karena
sebuah artikel di koran. Ia kembali menatap artikel tersebut, lalu kembali
membacanya.
‘... diketahui korban bernama Nanobana Kinako. Satu minggu
setelah kejadian tersebut, anaknya yang bernama Fei Lune meninggal dunia karena
mengalami depresi. Keduanya dimakamkan bersebelahan di pemakaman...’
“Fei-san... Jika ada waktu luang, Tenma akan main sama
Fei-san. Tenma akan berkunjung ke pemakaman Fei-san. Walau Tenma belum mengenal
Fei-san, tetapi Tenma sangat berterima kasih karena Fei-san telah menyadarkan
Tenma. Semoga, Fei-san diterima di sisi-Nya bersama Ibu Fei-san,” Tenma berkata
dan berdoa seolah ada Fei di hadapannya. Ia lalu menghapus air mata yang
mengalir di kedua pipinya, menaruh koran tersebut di meja belajarnya, dan
segera berbaring di kasur.
“Oyasuminasai*...” Ucap Tenma. Ia pejamkan matanya dan
beberapa menit kemudian, ia sudah mulai memasuki alam mimpi.
“Oyasuminasai, Tenma...” Tanpa disadari Tenma, Fei berada di
sebelah kasurnya sembari menggandeng tangan Ibunya. Keduanya tersenyum kepada
Tenma, lalu perlahan menghilang.
-TAMAT-
Note:
Oyasuminasai = Selamat
malam
Hmmm... #baca ulang#
Kok jelek banget ya?
Ya... yang penting saya
sudah berusaha untuk membuat fic ini...
Ok... Silahkan kasih kripik(?) dan sarang(?)nya. Dikasih api(?) juga boleh kok #geplak! #yang bener oi! #SUMIMASEN!!!
Maksud saya tadi itu kritik dan saran. Dikasih flame juga boleh kok! Apalagi kalau dikasih pisang, saya juga mau kok! #digampar #dasar monyet! #hidoi!
Kalau begitu, saya pamit undur diri aja deh. Sampai jumpa di kehidupan selanjutnya~ #duak!# M-maksud saya... sampai jumpa lain kali #langsung menghilang ditelan kecoak (?)
Shiro Shinigami Usagi,
Usagi Yumi